Sejarah Singkat RA Kartini
Kartini lahir pada 21 April 1879 atau 28 Rabiul Akhir tahun Jawa 1808 di Mayong afdeling Japara (kini Jepara). RA Kartini berasal dari keluarga priyayi atau bangsawan Jawa di Jepara. Ayahnya, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat adalah bupati di sana.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
RA Kartini masuk sekolah dasar eropa atau Europesche Lagere School (ELS) pada 1885. Anak pribumi yang diizinkan mengikuti pendidikan bersama anak-anak bangsa Eropa dan Belanda-Indo di ELS hanya anak pejabat tinggi pemerintah.
Meskipun dari kalangan bangsawan, anak perempuan masuk sekolah dan keluar rumah merupakan langkah yang bertentangan dengan tradisi saat itu, seperti dikutip dari Pendidikan Feminis R.A. Kartini oleh Irma Nailul Muna.
Sekolah di ELS, Kartini belajar dengan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Kemampuan bahasanya makin kuat karena rajin membaca buku dan koran berbahasa Belanda. Kartini juga belajar bercakap dengan bahasa Belanda sambil bermain dan menerima tamu bangsa Belanda yang datang ke Jepara.
Siswa pribumi di ELS sering mendapatkan perlakuan diskriminatif seperti pandangan rendah dari sesama siswa dan guru dari Belanda. Perlakuan tersebut memacu semangatnya terus berprestasi agar bisa mengalahkan siswa lain.
Meskipun mendapat perlakuan diskriminatif dari siswa dan guru dari Belanda, Kartini justru semangat memperoleh pengetahuan lebih banyak dan berprestasi. Dikutip dari buku Sisi Lain Kartini, ia menceritakan dirinya tengah belajar pemikiran pejuang wanita dari India Pundita Ramambai pada temannya, Nyonya Nelly Van Kol.
"Tentang putri Hindia yang gagah berani ini telah banyak kami dengar. Saya masih bersekolah, ketika pertama kali mendengar tentang perempuan yang berani itu. Aduhai? Saya masih ingat betul: saya masih sangat muda, anak berumur 10 atau 11 tahun, ketika dengan semangat menyala-nyala saya membaca dia di surat kabar. Saya gemetar karena gembira: jadi bukan hanya untuk perempuan berkulit putih saja ada kemungkinan untuk merebut kehidupan bebas bagi dirinya! Perempuan Hindia berkulit hitam, jika bisa membebaskan, memerdekakan diri."
Namun setelah lulus ELS, Kartini dilarang ayahnya melanjutkan pendidikan di HBS Semarang. Saat itu, tradisi bangsawan mewajibkan anak usia 12 tahun yang sudah dianggap dewasa untuk dipingit. Saat dipingit, anak perempuan tidak boleh keluar rumah, termasuk ke sekolah, karena harus menyiapkan diri untuk menikah dan menjadi ibu rumah tangga.
Karena itu, Kartini juga tidak mendapat izin untuk lanjut sekolah di Belanda seperti tawaran orangtua Letsy, temannya. Ia lalu dipaksa belajar aturan putri bangsawan, seperti berbicara dengan suara halus dan lirih, berjalan setapak dan menundukkan kepala jika anggota keluarga yang lebih tua lewat.
Kartini yang dipingit mengesampingkan kekecewaannya tidak lanjut sekolah dengan membaca dan mencatat. Sejumlah catatannya termasuk pandangan hidup yang bisa dicontoh, jiwa dan pemikiran besar, dan perilaku yang baik.
Ia juga berkirim surat pada sahabatnya untuk mempelajari pemikiran baru dan menyampaikan keinginannya tentang dunia pendidikan di daerahnya. Terjemahan surat-surat Kartini kelak membuka bahwa dirinya punya berbagai gagasan untuk mengangkat derajat kaum perempuan bumiputera di dunia internasional lewat pendidikan.
Kartini pun menikah pada 8 November 1903 dengan Bupati Rembang. Kesehatannya melemah setelah melahirkan anaknya pada 13 September 1903. Pada 17 September 1903, Kartini wafat dalam usia 25 tahun.
Kendati tak melanjutkan pendidikan seperti harapan semula, sebelum wafat, Kartini mencoba berbagai langkah agar dirinya dan perempuan di sekitar bisa maju dengan pendidikan.
Selanjutnya perjuangan R.A. Kartini untuk pendidikan>>>
Showing 1–9 of 32 results
Kartini adalah salah seorang pahlawan kemerdekaan nasional yang berperan besar dalam kebangkitan perempuan Indonesia. Ia lahir di Mayong, Jepara, Jawa Tengah pada 21 April 1879 dari pasangan Adipati Aria Sosroningrat dan M. A. Ngasirah. Sebelum menjadi Bupati Jepara, ayahnya menjabat sebagai Asisten Wedana onder-distrik Mayong, Jepara. Sedangkan M.A. Ngasirah adalah putri dari KH. Modirono, seorang guru agama sekaligus pimpinan sebuah pesantren dari Telukawur, Jepara.
Lingkungan masa kecilnya sangat erat dengan adat dan tradisi Jawa; dipingit dan menjadi Raden Ayu. Ia hidup dalam suasana feodalisme Jawa yang mengatur hubungan kekerabatan, sikap dan perilaku dalam suatu tata krama yang pelik dan rumit, memaksakan cara seseorang bagaimana harus duduk, berdiri, memandang, memegang tangan, menunjuk dan sebagainya (Poedjosoewarno, 1968, seperti dikutip Arbaningsih, 2005: 33).
Ia memperoleh pendidikan dasar dari Sekolah Rendah Belanda (ELS/Europeesche Lagere School) di tengah budaya feodal yang tidak mengenal anak perempuan masuk sekolah. Di sekolah, ia harus mengikuti aturan yang juga sangat feodalistik; siswa dipilah berdasarkan warna kulit serta kedudukan orang tua dalam susunan kepegawaian dan struktur sosial (A.J. Kairupin, 1903: 102-3). Awalnya Kartini kesulitan dalam berbahasa. Bahasa pengantar di sekolah yaitu bahasa Belanda. Kartini yang sehari-hari berbahasa Jawa awalnya sulit mengikuti, namun lambat laun ia mampu menguasai Bahasa Belanda dengan cukup baik (Toer, 1962). Hal ini membuatnya semakin memahami banyak hal. Berbekal pengalaman yang intens, daya kritis Kartini semakin terasah, mendorongnya menjadi ‘pemberontak’ yang menanamkan kesadaran bagi segenap masyarakat pribumi, meletakkan pondasi utama pembentukan identitas nasional.
Kemampuan bahasa Belanda yang ia peroleh dari sekolah membuka babak baru dari kehidupan Kartini. Setelah dengan rutin membaca koran Semarang, De Locomotief asuhan Pieter Brooshooft, Kartini dengan kemampuan bahasa Belanda yang cukup baik berhasil larut dalam banyak isu-isu penting di majalah wanita Belanda, De Hollandsche Lelie. Majalah ini diasuh oleh Johanna van Woude, nama pena Sophie Margaretha Cornelia van Wermeskerken, salah satu perempuan pertama yang jadi anggota Masyarakat Sastra Belanda, yang secara khusus merangkum berbagai ide-ide progresif yang memperjuangkan hak-hak perempuan. Di majalah De Hollandsche Lelie Kartini memuat iklan kecil tertanggal 15 Maret 1899 yang berisi tentang keinginannya berkenalan dengan seorang 'teman pena wanita', khususnya gadis Belanda yang berpikiran terbuka dan menaruh perhatian terhadap isu-isu modern di Eropa (Sitisoemandari, 1986).
Estelle "Stella" Zeehandelaar, seorang aktivis feminis Belanda, berusia lima tahun lebih tua dari Kartini, merespons ajakan tersebut, dan sejak itu keduanya mulai melakukan korespondensi. Kartini, melalui surat-suratnya kepada Stella, menceritakan kisah hidup dan semua pengalamannya sejak kecil. Ia misalnya bercerita bagaimana ia menghabiskan waktu sebagai gadis bangsawan yang dipingit dan harus tinggal di rumah yang justru seperti ‘penjara’.
Kartini juga bercerita bagaimana adat istiadat begitu membelenggunya, terlebih baginya yang notabene seorang perempuan dengan berbagai keterbatasan dan keterkungkungan, baik dalam lingkup sosial maupun budaya. Suatu kali Kartini berkisah kepada Stella:
Meski demikian, sebagai putri bangsawan, Kartini memperoleh kecakapan hidup yang dibutuhkan seorang anak meskipun itu diperolehnya saat menjalani masa pingitan. Beberapa guru didatangkan sang ayah untuk mengajari Kartini menyulam, menjahit, memasak, membatik, termasuk membaca Al-Quran. Tujuannya semata agar Kartini memiliki kemampuan serta kecakapan yang luas (Priyanto, 2017).
Empat tahun terkungkung sebagai gadis pingitan, Kartini semakin menyadari arti kebebasan berdasarkan kehendak diri. Perlahan namun pasti, ia mulai menggugat budaya Jawa yang cenderung tak memberi panggung bagi perempuan serta didominasi maskulinitas Jawa yang memingit perempuan dari kebebasan berpikir dan cita-cita, meskipun hal itu ditujukan demi memberi sumbangsih bagi bangsa dan negara. Hal ini yang membuatnya begitu sumringah ketika sang ayah mengajaknya menghadiri upacara pembaptisan sebuah gereja baru di Kedungpenjalin pada 1896. Sebagai gadis berusia 16 tahun, ajakan itu begitu menggembirakan, memberinya kesempatan untuk melihat dunia luar sebagai individu yang bebas, meskipun ketika pulang, ia kembali masuk pingitan (Chudori, Tempo, 2013: 38-39).
Namun sejak itu Kartini tidak lagi terlalu dibebani status gadis pingitan. Ia tak mempermasalahkan keputusan ayahnya agar dirinya tinggal lebih lama di Dalem Kabupaten setelah ia secara tegas menolak menjadi Raden Ayu. Bersama kedua adiknya yang juga dalam status dipingit, ia justru berupaya menerapkan prinsip kesetaraan dan belajar arti kebebasan. Mereka menjalani pergaulan yang begitu akrab, tanpa kekakuan tradisi, mendefinisikan diri sebagai Het Klaverblad atau ‘Daun Semanggi’, sehingga mendatangkan cibiran dari lingkungan sekitar. Kepada Stella, Kartini menjelaskan kondisinya saat itu, “Kami bahkan dijuluki kuda atau kuda liar karena jarang sekali berjalan, tapi pecicilan ke sana-kemari.”
Di tengah kondisi tersebut, Kartini mengajarkan kedua adiknya tentang pentingnya pendidikan dan perlunya menggiatkan aktivitas literasi, membaca banyak buku, majalah maupun surat kabar yang kebetulan tersedia di rumah mereka. Aktivitas menulis menjadi bagian penting hidup Kartini. Selain malam hari, ia mulai menulis pada sekitar pukul lima pagi. Tema tulisannya beragam, termasuk seputar persoalan kebudayaan. Pada 1898, Bijdragen tot de Taal-Land-en Volkenkunde van Ned-Indie, Jurnal ilmiah bidang Bahasa, antropologi, dan sejarah yang terbit sejak 1854, memuat tulisannya bertajuk Het Huwelijk bij de Kodja’s yang mengulas upacara perkawinan suku Koja di Jepara. Secara detail Kartini mengulas prosesi perkawinan warga keturunan Arab di Jepara tersebut, membuatnya layak disebut sebagai antropolog pertama di Indonesia (Kwartanada seperti dikutip Chudori, Tempo, 2013: 45).
Di tahun 1989 pula sang Ayah membebaskan Kartini dari pingitan, termasuk kedua adiknya, membuat mereka bersemangat dan merasa menjadi pribadi merdeka, setidaknya dari tradisi yang begitu mengungkung mereka. Terlebih saat itu sang Ayah mengajak mereka keluar Jepara untuk menghadiri dan merayakan penobatan Ratu Wilhelmina di ibu kota Karesidenan, Semarang. “Itu kemenangan yang sangat besar. Tapi toh tidak puas. Aku mau merdeka, berdiri sendiri, agar tidak bergantung pada orang lain,” tulis Kartini kepada Stella, 25 Mei 1899. “Sungguh, ini adalah kemenangan kami, kemenangan yang begitu kami dambakan. Adalah hal aneh bagi gadis-gadis sekelas kami muncul di keramaian, orang-orang mulai menggosip dan memperbincangkannya, ‘dunia’ menjadi terheran-heran. Hei, bersulanglah untuk kami! Dunia serasa menjadi milik kami,” ujar Kartini melanjutkan (Sitisoemandari, seperti dikutip Chudori, Tempo, 2013: 44).
Sejak itu sikap emansipatif Kartini semakin terlihat. Bersama kedua adiknya, Kartini menginisiasi berbagai kegiatan sosial, melakukan pemberdayaan terhadap masyarakat desa pengrajin yang tinggal di Blakang Gunung. Selain memberikan bimbingan dalam desain, mereka juga membantu mencarikan pemesan di kalangan para Belanda teman korespondensinya. Kartini juga mengupayakan agar orang Belanda menghargai hasil kerajinan seni ukiran Jepara. Upayanya berhasil dan membuat usaha para pengrajin dari Blakang Gunung maju berkembang. Pada 1900, Kartini dan kedua adiknya juga memperkenalkan seni batik kepada publik Belanda dalam sebuah pameran kerajinan di Den Haag. (Sitisoemandari, 1986: 103-7; Arbaningsih, 2005: 40).
Meski sibuk dengan kegiatan sosial, Kartini tetap bergumul dengan banyak bacaan, baik yang bersumber dari surat kabar, majalah, maupun buku-buku terbitan Belanda, membuatnya bersentuhan dengan wacana modern Eropa melalui pembacaan atas karya-karya Louis Coperus (De Stille Kraacht), Van Eeden, Augusta de Witt, Multatuli (Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta) serta berbagai roman-roman beraliran feminis berbahasa Belanda. Aktivitas tersebut, ditambah intensitas korespondensinya dengan Stella, semakin mematangkan daya nalar Kartini. Apa yang dipikirkan dan dilakukan Kartini senantiasa menuju ke arah modernisasi, dan semakin mengukuhkannya sebagai pribadi yang kreatif dan emansipatif (Arbaningsih, 2005: 39).
Dari Stella pula Kartini mengenal konsep adeldom verplicht, kebangsawanan menanggung kewajiban—istilah serupa: noblesse oblige, keningratan membawa kewajiban (Adhitama, 1979), yang semakin menegaskan kepercayaan Kartini bahwa feodalisme bisa dibendung khususnya melalui peneguhan prinsip “makin tinggi kebangsawanan, tugas dan kewajibannya terhadap rakyat makin berat”. Dalam suratnya untuk Stella, 6 November 1899, Kartini menulis, “Kebangsawanan menangunggung kewajiban…. bodoh saya mengira bahwa kebangsawanan pikiran selalu seiring dengan kebangsawanan perangai-bahwa tingkat tinggi kecerdasan juga berarti keluhuran budi pekerti! Betapa pahit kekecewaan saya dalam hal ini.” (Sulastin, 1979:14)
Keluhuran budi pekerti menjadi perhatian Kartini, khususnya dalam konteks pemberian pendidikan yang baik kepada masyarakat, pendidikan yang bukan semata-mata didasarkan atas kecerdasan otak, melainkan yang sungguh-sungguh memperhatikan pembentukan akhlak pula. Hal tersebut, menurut Kartini, harus menjadi fokus pengajaran yang diberikan kepada masyarakat Jawa (Surat Kartini kepada Stella Z, 12 Januari 1900). Di lain kesempatan, kepada M.C.E. Ovink-Soer, Kartini menulis:
Pandangan ini menjadi titik pijak Kartini yang hidup di saat feodalisme mencengkeram kuat tanah Jawa. Dengan landasan berpikir tersebut, Kartini melancarkan pemberontakan terhadap berbagai hal yang dinilai tak memperlakukan manusia secara setara, dan itu ia tuangkan dalam bentuk tulisan. Spektrum gagasan Kartini begitu luas, tidak hanya perihal kesetaraan, namun juga kebebasan seorang individu. Sering pula Kartini menuangkan refleksinya atas persoalan agama, seperti poligami yang dianggap sangat membela ego laki-laki. Ia begitu kecewa terhadap sistem poligami yang mengizinkan kaum lelaki Islam menikah dengan empat wanita. Meski dalam ajaran Islam itu dibenarkan, Kartini tetap menyebutnya sebagai dosa karena tidak adil bagi pihak perempuan. “Agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu,” tulis Kartini.
Dalam banyak surat yang ditulis, Kartini tak segan mengkritik kegiatan atau ajaran agama yang dianggap tidak berlandaskan asas kemanusiaan, termasuk kecenderungan masyarakat yang menjalankan ajaran agama tanpa memahaminya secara mendalam. Dalam suratnya kepada Stella, ia menulis:
Dalam konteks ini, Kartini memandang agama melalui sudut pandang yang manusiawi (Sumartana, 2013:40). Tidak hanya berlaku terhadap agama Islam, kritik juga dilancarkan kepada agama lainnya. Tentang kegiatan zending, misi Kristen berupa layanan pendidikan dan kesehatan, misalnya. Ia mengkritik zending yang pada saat itu diadakan hanya untuk menarik jemaat, bukan sepenuhnya untuk membantu sesama. Ia keberatan pada usaha zending yang sibuk dengan panji-panji keagamaan dengan tujuan mengkristenkan umat Islam di Jawa.
Sebelum mengenal Stella, Marie Ovink-Soer, istri Asisten Residen Jepara Ovink, adalah sosok yang pertama tama menggugah kesadaran Kartini. Marie sudah dikenalnya sejak belia, sebelum ia mulai dipingit, menyapanya dengan panggilan "Moedertje", ibu tersayang (Marie Ovink-Soer, 1925). Sebagai feminis yang juga produktif menerbitkan novel remaja Belanda, Marie Ovink-Soer menginspirasi Kartini, terlebih setelah Marie menulis di majalah De Hollandsche Lelie perihal persoalan adat perjodohan dan poligami di masyarakat Jawa yang menurutnya sangat mengerikan. Marie yang pada perjalanannya memperkenalkan Kartini pada sastra feminis Belanda, seni lukis, bahasa Belanda, serta mendorongnya untuk menulis, termasuk membujuk ayah Kartini untuk berlangganan majalah De Hollandsche Lelie untuk Kartini dan adik-adiknya (Chudori, Tempo, 2013: 14-16)
Selain kedua nama tersebut, Kartini juga melakukan korespondensi dengan Rosa Manuela Abendanon-Mandri, istri Menteri Kebudayaan, Agama, dan Industri Hindia Belanda, J.H. Abendanon. Selain berbagi kisah hidupnya, Kartini juga banyak mengutarakan pandangan tidak hanya persoalan sosial-politik namun juga kebudayaan dan agama. Dari korespondensinya dengan Rosa, tergambar ide-ide kemajuan dari Kartini khususnya terkait visinya memberdayakan perempuan pribumi agar mampu mengejar prestasi perempuan Eropa.
Nama lain yang menjadi kawan bercerita Kartini adalah Hendrik de Booy, ajudan Gubernur Jenderal Rooseboom, dan istrinya Hilda Gerarda de Booy-Boissevain; Henri Hubert van Kol, anggota parlemen dari SDAP, dan istrinya, Nellie van Kol Porreij, editor Hollandsche Lelie; Dr. Nicolaus Adriani, pendeta dan ahli Bahasa di Poso; serta G.K. Anton, guru besar ilmu kenegaraan di Jena, Jerman (Chudori, Tempo, 2013: 19). Kepada mereka Kartini menulis sekitar 114 surat (Sulastin, 1979), antara lain: Estelle H. Zeehandelaar atau Stella (14 surat); Ny. Ovink-Soer (8 surat); Prof. dr. G.K. Anton di Jena dan istrinya (3 surat); Dr. N. Andriani (4 surat); Ny. H.G. de Booy-Boissevain (5 surat); Ir. H.H. van Kol (3 surat); Ny. N. van Kol (3 surat); Ny. R.M. Abendanon-Mandri (49 surat); Mr. J.H. Abendanon (5 surat); dan E.C. Abendanon (6 surat). Surat-surat tersebut menjadi bentuk kepedulian etis Kartini atas penderitaan dan keterbelakangan masyarakat, khususnya di pulau Jawa, yang hidup dibawah sistem kolonial Belanda yang begitu menindas dan eksploitatif (Arbaningsih, 2005: 50). Melalui surat-surat itu pula Kartini hendak mengirim pesan kepada publik Hindia Belanda bahwa perempuan juga perlu diposisikan secara setara, dibebaskan dari berbagai kungkungan budaya yang ada. Ide-ide Kartini pada gilirannya menjadi manifesto emansipasi perempuan dan platform bagi dekolonisasi Jawa (Coté, 2005).
Seperti sering disampaikan kepada kedua adiknya, pendidikan bagi Kartini adalah pintu bagi kebebasan, jalan utama mencapai kemajuan ilmu pengetahuan. Baginya pendidikan akan memperkuat posisi dan peran perempuan di ruang publik, setara dengan laki-laki. Karena itu, pendidikan berlaku untuk semua, tak peduli jenis kelamin dan kelas sosial. Tentang ini Kartini menulis:
Hal ini memotivasinya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi di Eropa. Alasan mengapa ia berkeinginan belajar di luar negaranya diceritakannya dengan tegas kepada Nyonya Abendanon,
Berdasarkan pandangan tersebut, Kartini ingin datang sendiri ke Eropa, menghirup nafas Eropa, merasai iklim dan cuacanya, merasakan semua keindahan dan kekayaan peradaban Barat. Kepada Nyonya Abendanon, Kartini menulis,
Ia didukung oleh kawan kawannya di Belanda untuk melanjutkan studi di Eropa. Henri Hubert van Kol, anggota parlemen dari SDAP, misalnya membantu mengabulkan keinginan Kartini dengan membawa persoalan ini ke parlemen Belanda (Pramoedya, 2003: 158). Ia juga dibantu oleh Stella, sahabatnya yang memiliki jejaring luas di Belanda.
Namun iklim politik saat itu sangat tidak mendukung Kartini untuk merealisasikan niatnya. Kartini menyadari hal tersebut, seperti pesannya kepada Stella pada 1903,
Surat itu menjadi curahan hati Kartini yang pada akhirnya gagal melanjutkan pendidikan ke Belanda. Seyogianya pada April 1902 Van Kol berhasil meyakinkan pemerintah Belanda, melalui Mr. Idenburg—nantinya menjadi Gubernur Jenderal di Hindia-Belanda (1909-1916)—untuk memberikan beasiswa ke Kartini dan adiknya, Roekmini. Namun setelah berbincang dengan Mr Abendanon dan Rosa Abendanon pada Januari 1903, dan dengan berbagai pertimbangan, utamanya faktor keluarga; ayahnya terbaring sakit (surat untuk N. Van Kol, 21 Maret 1903), Kartini mengurungkan niat belajar di Belanda dan memutuskan untuk melanjutkan sekolah di Batavia (Sitisoemandari, 1986; Arbaningsih, 2005:72-73). Segera Kartini mengirim nota kepada Gubernur Jenderal Rooseboom pada 19 April 1903 terkait rencana belajar ke Batavia. Akan tetapi setelah permohonan tersebut dikabulkan oleh Gubernur Jenderal Belanda, Sang Ayah, Adipati Aria Sosroningrat, menarik kembali izin kepada Kartini untuk bisa belajar di Batavia.
Di tengah semangat meraih pendidikan lanjutan yang akhirnya menemui kegagalan, Kartini harus menghadapi kenyataan bahwa orang tuanya meminta dia untuk menikah. Dengan pertimbangan membahagiakan orangtua, Kartini yang saat itu berusia 24 tahun menyetujui dan menikah dengan K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, 12 November 1903. Suaminya adalah Bupati Rembang yang telah memiliki 3 istri. Kartini, yang begitu membenci poligami (Surat kepada Nellie Van Kol 21 Maret 1903; Surat kepada Stella 25 April 1903) akhirnya menerima takdir sebagai wanita yang dimadu. Poligami justru menjadi bagian dari kisah hidup Kartini.
Namun demikian, sang suami memberikan kebebasan kepada Kartini untuk terus mengejar cita-citanya, termasuk membangun sekolah perempuan. Pada 1903 Kartini mendirikan sekolah untuk gadis Jawa pertama di Hindia Belanda. Saat pertama kali dibuka, sekolah ini diikuti satu orang murid perempuan, membuat Kartini semakin gencar mendatangi para orangtua yang memiliki putri untuk bergabung di sekolah tersebut. Upayanya berhasil, muridnya bertambah menjadi lima orang dalam rentang seminggu. Mereka yang bergabung saat itu berasal dari keluarga priayi Jepara, termasuk seorang putri Jaksa Karimun Jawa. Selain belajar baca-tulis, murid-muridnya diajari budi pekerti, kerajinan tangan, dan memasak. Dibuka selama empat dalam sehari dari pukul 08.00 hingga 12.30. Ia menggambarkan kondisi tersebut kepada Nyonya Abendanon pada 4 Juli 1903, “Sekolah kami sudah mempunyai tujuh murid, dan permintaan baru terus mengalir. Menggembirakan, bukan?” (Chudori, Tempo, 2013: 54).
Kartini juga berinteraksi dengan berbagai elemen masyarakat, salah satunya pemuda-pemuda progresif siswa STOVIA (School Tot Opleiding Voor Indische Arts) atau Sekolah Dokter Jawa. Komunikasi komunikasi dengan mereka digambarkan Kartini sebagai berikut:
Kepada mereka, Kartini menumbuhkan semangat nasionalisme. Pemikiran, gagasan, tulisan dan tindakan Kartini berhasil menumbuhkan keberanian dan kesadaran para pemuda progresif dan terpelajar di STOVIA untuk mulai berfikir dan berjuang untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan. Kartini menjadi ‘penyulut api nasionalisme’ bagi pemuda saat itu (Priyanto, 2017).
Setahun kemudian, tepatnya pada 13 September 1904, Kartini melahirkan seorang putra bernama Soesalit Djojoadhiningrat. Sayangnya, hanya berselang empat hari melahirkan, Kartini meninggal dunia pada 17 September 1904. RA Kartini meninggal dunia pada usia 25 tahun dan dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.
Sepeninggal Kartini, cita-cita membangun negeri melalui pendidikan diteruskan tidak saja oleh adik-adiknya, namun juga oleh banyak orang yang sepenuhnya menyetujui ide-ide Kartini. Pada 1912 Yayasan Kartini yang didirikan oleh keluarga Van Deventer dan beberapa tokoh politik etis, membangun Sekolah Kartini di Semarang, berlanjut di Surabaya, Jogjakarta, Malang, Madiun, Cirebon.
Sebelumnya, sebagai upaya merawat pernik pemikiran Kartini, pada 1911 Rosa Manuela Abendanon berinisiatif menghimpun dan menerbitkan hasil korespondensi Kartini dengan Stella dan kawan-kawan pena lainnya di Belanda dalam buku yang diberi tajuk Door Duisternis tot Licht ("Dari Kegelapan Menuju Cahaya"). Buku tersebut segera menarik perhatian masyarakat luas, diperbincangkan di berbagai kesempatan oleh berbagai lapisan masyarakat. Sejak itu, beragam pemikiran Kartini mulai menggeser pandangan masyarakat Belanda terhadap perempuan pribumi di Hindia Belanda, terutama di Jawa.
Sebelum terbit salam sebuah buku, ide dan gagasan Kartini telah tertanam kuat di benak masyarakat, menginspirasi mereka untuk bertindak demi kepentingan bangsa. Ide-ide Kartini tentang semangat kebangkitan berbangsa, misalnya, menginspirasi berdirinya Boedi Oetomo pada 1908.
Atas jasa-jasa yang diberikan, pada 2 Mei 1964, Presiden Sukarno melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia No 108 Tahun 1964 menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Hari lahir Kartini, 21 April diperingati secara khusus sebagai Hari Kartini, sebuah kebijakan yang berlaku hingga saat ini.
Penulis: Setyadi Sulaiman Instansi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Editor: Prof. Dr. Jajat Burhanudin, M.A.
Adhitama, Toeti. 1979, dalam Haryati Soebadio, dkk. Satu Abad Kartini 1879-1979: Bunga Rampai Karangan Mengenai Kartini. Jakarta: Sinar Harapan.
Arbaningsih, Dri. 2005. Kartini dari Sisi Lain: Melacak Pemikiran Kartini Tentang Emansipasi "Bangsa". Jakarta: Penerbit Buku Kompas
Chudori, S. Leila (Peny.), 2013. Seri Buku Tempo: Gelap-Terang Hidup Kartini. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Coté, Joost. 2005. On Feminism and Nationalism: Kartini's Letters to Stella Zeehandelaar, 1899-1903. Clayton, Victoria: Monash Asia Institute.
_________. 1992. Letters from Kartini; An Indonesian Feminist 1900-1904. Clayton, Victoria: Monash Asia Institute, Monash University.
Gogali, Lian. 2013. “Kartini: Habislah Gelap, Terbitkan Terang Kartini: After Darkness to A Light” dalam http://www.mosintuwu.com/2013/05/01/
Kairupin, A.J. 1903. Menadonesche School, Taman Pengajaran (Yogyakarta) V/15 Juli 1903-15 Juli 1904.
Ovink-Soer, Marie. 1925. Persoonlijke Herinnering Aan Raden-Adjeng Kartini, Amsterdam: De Bussy.
Priyanto, Hadi. 2017. Kartini, Penyulut Api Nasionalisme, Jepara: Yayasan Kartini Indonesia.
Toer, Pramoedja Ananta. 1962. Panggil Aku Kartini Saja (Bukittinggi-Jakarta: Nusantara.
Toer, Pramoedja Ananta. 2003. Panggil Aku Kartini Saja (Jakarta).
Sitisoemandari, Soeroto, 1986. Kartini: Sebuah Biografi. Jakarta: Gunung Agung
Sulastin, Sutrisno, 1979. Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan untuk Bangsanya. Djambatan, Jakarta.
Sumartana, Th. 2013. Tuhan & Agama dalam Pergulatan Batin Kartini. Penerbitan Gading.
Indonesian who advocated for women's rights and female education
Portrait of Raden Adjeng Kartini
Raden Adjeng Kartini, also known as Raden Ayu Kartini (21 April 1879 – 17 September 1904),[a] was a prominent Indonesian activist who advocated for women's rights and female education.
She was born into an aristocratic Javanese family in the Dutch East Indies (present-day Indonesia). After attending a Dutch-language primary school, she wanted to pursue further education, but Javanese women at the time were barred from higher education. Instead, Kartini entered a period of seclusion mandated for teenage girls until they married. She acquired knowledge by reading books and by corresponding with Indonesian and Dutch people. Her father allowed her to go into the community beginning in 1896, although she remained an unmarried single woman.
She met various officials and influential people, including J.H. Abendanon. She began the tradition amongst three of her sisters to found and operate schools. After she died, schools were established by a foundation founded in the Netherlands. Some of her Indonesian friends also established Kartini Schools.
After her death, her sisters continued her advocacy of educating girls and women. Kartini's letters were published in a Dutch magazine and eventually, in 1911, as the works: Door Duisternis tot Licht (From Dark Comes Light) and an English version, Letters of a Javanese Princess. Her birthday is now celebrated in Indonesia as Kartini Day in her honor. She opposed the Purdah-like seclusion of teenage girls and polygamy.
Kartini is a National Hero of Indonesia.[2]
During Kartini's life, Indonesia became an important Dutch colony with natural resources of rubber and oil and the production of tobacco that attracted more Dutch immigrants than any other Dutch colonial possession. The Dutch sought to control the entire Indonesian archipelago, which it did by the 20th century. In the meantime, there were technological advancements with the opening of the Suez Canal, the establishment of telegraph lines, and the installation of railroads, which brought the colony into the modern age. As more Dutch people immigrated to Indonesia, more private businesses were founded, and educational opportunities opened up for the Indonesian noble class, as Dutch schools were opened up for immigrants. The knowledge of the feminist movement in Holland began to spread to the traditional Indonesian culture. Polygny was common amongst Indonesian aristocrats. Muslims could have up to four wives. Common wives had little clout in their husband's households. They often supported themselves and lived in separate buildings from their husband. Women generally had little influence in the patriarchal Indonesian society. Men's social standing was determined by the number of wives they had.
Kartini was born 21 April 1879, in Java, Indonesia, in the village of Mayong.[7] Her parents were Raden Adipati Sosroningrat, a member of the priyayi (Javanese gentry), and Ngasirah, the daughter of a religious scholar. Her father worked for the Dutch colonial empire of the Dutch East Indies[7] as the administrative head of north-central Java. In 1880, he became the Regent of Jepara, which meant that, in all likelihood, Kartini would marry another Regent.
Her mother, Ngasirah, was 14 and a commoner when she married Sosroningrat. Her parents were Nyai Haji Siti Aminah, who had a pilgrimage to Mecca, and Kyai Modirono, likely devout Muslims. Ngasirah was Sosroningrat's first wife, with whom he had eight children. His next wife was the aristocratic Raden Ayu Sosroningrat, with whom he had three daughters. Regents were expected to marry nobility. Kartini called her step-mother "mother", rather than her birth mothers.
Kartini was the fifth child and second-eldest daughter in a family of eleven, including half-siblings. She was born into a family with a strong intellectual tradition. Her grandfather, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, became a regent at the age of 25,[11] while Kartini's older brother, Sosrokartono, was an accomplished linguist.[12]
Kartini attended a Dutch school, which was her initiation to the Western world, beginning at the age of six.[7] She was among the first Indonesian children to attend a European school and was treated poorly by teachers and fellow students. Over time, though, she was recognized for her intelligence. Kartini was a fluent speaker of the Dutch language. Most Indonesian girls spoke Malay. While at Dutch school, she also studied with Marie Ovink-Soer, the wife of another regent, who gave Kartini sewing lessons and taught her about feminist viewpoints.[7] She remained in Dutch school until she was a teenager when she experienced the purdah-like "sheltered existence deemed appropriate to a young female noble",[7] from 1891 to 1895. During this period, she was expected to be meek and compliant with rigid cultural rules and etiquette. She learned to cook and do other household chores. She made batik fabric and her clothing. Uncomfortable with the hierarchical dictates, Kartini was considerate of her subordinates and did not expect servants, commoners, or her younger siblings to treat her according to the cultural traditions. She was particularly annoyed when women berated or talked in a rebuking manner about young girls, the lowest on the hierarchical ladder. Kartini stood up her ground for all of the females to go to school
During her seclusion, Kartini read feminist and political publications, including that of Pandita Ramabai Sarasvati. She said of the activist for outcastes and women, "So it's not only white women who are able to take care of themselves-a brown woman can make herself free and independent too."
Kartini and her sisters, Kardinah and Roekmini, were allowed one way they could escape the seclusion periodically. They visited Marie Ovink-Soer for piano and handicrafts training.
Kartini was fluent in Dutch and acquired several Dutch pen pals. One of them was a girl named Rosa Abendanon, who later became a close friend.[7] Kartini shared her opinions about feminism and her concern about traditional Javanese practices with her friends from Dutch school and Ovink-Soer. She was particularly concerned that Javanese girls were often denied an education and forced into marriage when they were young.[7] She believed that education was important to develop oneself and to prepare for motherhood and was against arranged marriages and polygamy. Kartini believed that women should be free to make decisions themselves.[7]
Beginning in 1896, Kartini was given permission by her father to occasionally leave the room in which she was secluded to visit a village of wood carvers, attend the consecration of a protestant church, and other special occasions. The more that she became acquainted with life outside her home, the more that she became interested in the concerns of other Indonesians. Some of her articles were published during this time. Members of her family and noble Indonesian and Dutch people considered the unmarried Kartini's activities in the community a scandal.
In 1898, a ball was held to celebrate the Inauguration of Wilhelmina of the Netherlands. Unusual for the time, Kartini and her closest two unmarried sisters were invited to attend the ball with their father, which Kartini saw as a recognition of her leadership and as a representative for single women. She decided that educational courses in character should be given to students due to the "deceit and hypocrisy" exhibited by Europeans and Asians at the ball.
By the time that Kartini reached the age of 16, she was expected to marry. Rather than being addressed to society as a woman looking to marry, she was introduced as a single woman. She had no intention of marrying at that age. By 20, her viewpoint had changed. In a letter, she stated, "Some day it will, it must happen, that I shall leave home with a husband who is a stranger to me."
Raden Adipati Djojo Adiningrat (also known as Raden Adipati Joyodiningrat Rembang) was a widowed progressive leader. He learned about Kartini and approached her father to discuss the possibility of an arranged marriage. The couple agreed that Kartini would continue her plans for the school.[7] Kartini married Joyodiningrat on 8 November 1903. There was a 26-year age difference between Kartini and her husband. She became the fourth wife of Joyodiningrat, who had 12 children at the time. Her marriage precluded her from accepting a scholarship.[7] Soon after her marriage, Kartini became pregnant and was optimistic about the life her child would have. She continued to work at the school during her pregnancy. Her son Raden Mas Singgih was born on 13 September 1904. Kartini died on 17 September 1904, four days after giving birth to her only child. She was buried at Bulu Village, Rembang.[7]
Kartini wrote letters extensively about matters important to her, including art, politics, education, public health, economic welfare, and literature. The letters were sent to her Dutch friends, including J.H. Abendanon, the Minister for Culture, Religion, and Industry in the East Indies, and his family.
Kartini corresponded with Estelle (Stella) Zeehandelaar, who answered her pen-pal ad in the Daily Lily in 1900. Unlike Kartini, who had been secluded for many years, Stella was a 25-year-old woman from Amsterdam who supported herself. Kartini wrote about her feelings about marriage, polygyny, traditional mores, and education. She also wrote about her relationship with her father and how she planned to improve herself. She met Abendanon, who sought to improve educational opportunities for girls, also in 1900. She began to correspond with Mevrouw (Mrs.) Abendanon-Mandri. Their letters provide insight into the changes in her life and in colonial Indonesian life.
Seven years after Kartini's death, Abendanon collected, edited, and published her letters. The book titled Door Duisternis tot Licht (From Dark Comes Light) was published in 1911. She was the first Indonesian whose opinions were published in Dutch and popular among Dutch-speaking Indonesians and Europeans. This publication was edited to exclude references to colonial figures, Islamic beliefs, and Javanese culture, and the English translation made further changes.[28] The book was translated into English by Agnes L. Symmers as Letters of a Javanese Princess published in 1920.[28] The English book focused on Symmers' view of an Oriental woman in love, focusing on her personal life, and excluding letters that showed her as an intelligent forward-thinking woman. Books were published for Indonesians, a version in Malay in 1922 and another Malay version in 1951 by Armijn Pane, excluding some Kartini's most important letters. In 1960, UNESCO published 19 of Kartini's letters in French. The letters are available at Leiden University Libraries and can also be consulted digitally.[31] A complete English translation of all of Kartini's letters was published in 2014 by Joost Coté in Kartini: The Complete Writings 1898-1904 along with articles and other writings by her.[32]
Kartini coordinated efforts between a group of Indonesian artists and Europeans in the East and West association. Europeans provided funding for an art shop to create carved wood pieces. Kartini operated a school.
Kartini believed that women were paramount in the process of improving the lives of Indonesian men and women, and because of that, she developed an education plan for girls that had the same academics and character-building instruction as for boys but also included hygiene, first aid, and money management. Kartini was particularly concerned about the lack of medical care for Indonesians, and female Indonesians in particular. So much so that she considered attending medical school.
Kartini was introduced to Henri van Kol, a member of parliament, in August 1902, who offered to help her realize her plan to study teaching and first aid in the Netherlands. The goal was to have the knowledge to open a school, teach, and be the school's headmistress. He contacted the States General on her behalf. Kartini received a scholarship, but many people in her life were concerned about her leaving Java.
Kartini, with her husband's support, opened up a school for women in Rembang's Regency Office complex.[7] She operated the school by herself, teaching 10 girls four days a week. In 1903, she wrote a report to the government entitled Educate the Javanese Now that discussed the significance of receiving a quality education and offered some recommended methods for achieving it.
Following Kartini's death, a foundation was established in the Netherlands to continue Kartini's vision for building and operating schools. Indonesian women also opened Kartini Schools from 1913 and into the 1930s in Java. Students of the schools included Java's first female graduate of medical school, and another woman was its first law graduate. Women asserted themselves to create productive lives of their own making. In 1945, equal rights for women was written into Indonesia's first constitution.
Her sisters continued the legacy of operating schools, including Rockmini. Kardinah also wrote textbooks and established a medical school. Soematri also focused on vocational education for women.
Posthumous publications:
%PDF-1.5 %µµµµ 1 0 obj <>>> endobj 2 0 obj <> endobj 3 0 obj <>/XObject<>/ProcSet[/PDF/Text/ImageB/ImageC/ImageI] >>/Annots[ 7 0 R 10 0 R 11 0 R 12 0 R 13 0 R 14 0 R 15 0 R 16 0 R 22 0 R 23 0 R 24 0 R 25 0 R 26 0 R 27 0 R 28 0 R 29 0 R 30 0 R 33 0 R 34 0 R 35 0 R 36 0 R 37 0 R 38 0 R 40 0 R] /MediaBox[ 0 0 595.32 841.92] /Contents 4 0 R/Group<>/Tabs/S/StructParents 0>> endobj 4 0 obj <> stream xœ•Z[oÛ¸~�ÿ Gé aÅ›(E�´ÝÝ“-zš`÷¡{”Öë(±ÙA‘f†¤,Ê”ä¶EjIÔp8óÍ7'yõ%yýúÕ§w×ï“üÍ›äíûwÉÛÛó³W¿ó„—Éí?çg<Éá/O„ÖLñÄhÁŒJn×çgy²ÄœŸ}K¿f2eW,ùX·ûfÓdÿMn?œŸý¢Pœ—!UÎrÙ—ñ-Mzk“ß>½K’žN|¨g¹ Ô’Z±Â$<)ĸțm½é¤Š@ªH¸OÊ+y¢Ë’ñʉ<»Ô øR¦WY•n³K•¶ÍjJwÙÛå`ÄœŠžÓVEåH&M_N‚–-’ÛïßR^šjJ1hÌ@1¸�Â’WŠ2gª Or9ºV±¼úµS1%Ë‚•:”ÃM¦¬_nÙ¥ Ïèt�ÞYdeº¾C¯-Ú)k˜ÈF°^ü¢›Ê¨œ’ 3P¸B�ò̤jJjˆü£²LóY {‘tÞG¡dË…Jt!PéSd…§ˆ ”š•^ E .û�ÎZÀÅ?€5F¸‘:ÀX©¼dù ;kˆ‹Š— "|¹¬Wè ñ�$òˆ5”QLªY ÿCÁÆv·)#« *`°ä2gh˜ï' UÄBÞ“"¯ÐB½L{ˆ-ÆV�V™Œ-c.3e£STŽ1‡²m( ¡kP×"½AÇnQÕ=°òb OÈîÓyWDË�¼bEî4«r´T€N›�ʧe^£!VÉqŵÕÑZ,Kê¸?:˜«ô-„!AZëu$,�Ï)�PáZ@øý;˸ÄL( '{æØ›»\[ÛoK-è…0ÅÓâhqGxŸi÷NW,Ù”³‹h¨áxyšTiŽÖÚøÞaž°*
Hari Kartini diperingati setiap tanggal 21 April. Hari besar nasional ini kerap menjadi momentum bagi siswa di sekolah maupun lingkungan rumah untuk mengenal kembali sejarah singkat dan perjuangan RA Kartini.
Raden Ajeng (R.A.) Kartini dikenal dengan surat-surat kirimannya tentang emansipasi perempuan dan semangat maju dengan pendidikan. Berikut kisahnya.
Mendirikan Sekolah Kartini
Kartini dan adiknya lalu memutuskan membuka sekolah untuk anak-anak gadis pada Juni 1903. Sekolah Kartini menekankan pembinaan budi pekerti dan karakter anak sehingga suasana sekolah diciptakan seperti suasana di rumah.
Sekolah berlokasi di pendopo kabupaten. Kegiatan belajar mengajar berlangsung empat hari seminggu, Senin-Kamis. Murid belajar 4,5 jam sehari, pukul 8 pagi-12.30 siang. Kartini banyak menghabiskan waktu memikirkan pengelolaan sekolah barunya karena minat masyarakat yang ingin menyekolahkan anaknya bertambah.
Di tengah masa tersebut, ia memutuskan menikah dengan Bupati Rembang Raden Adipati Djojo Adiningrat pada 8 November 1903. Kartini juga mengalihkan beasiswa studi ke Batavia yang ia dan Roekmini dapat tidak lama setelahnya ke orang lain.
Surat lamaran suaminya diterima Kartini dengan syarat sang Bupati Rembang menyetujui dan mendukung gagasan dan cita-cita Kartini. Kartini juga harus diizinkan membuka sekolah dan mengajar putri-putri bangsawan di Rembang.
Sekolah yang sudah dirintis Kartini terkendala setelah ia wafat. Keluarga Abendanon dan Nyonya Van Deventer kelak membangun beberapa sekolah nama Sekolah Kartini. Seiring waktu, sekolah Kartini berkembang ke kota-kota lain, dengan program pendidikan yang mendukung keterampilan siswa.
Upaya Kartini Melanjutkan Pendidikan
Kartini pernah berupaya mencari beasiswa dengan mengirim surat pada sahabatnya Nyonya Ovink Soer. Peluang mendapatkan pendidikan sedikit terbuka saat pemerintah Belanda mengumumkan politik kolonial baru pada September 1901.
Kelak Ratu Wilhelmina dalam sidang parlemen memproklamasikan politik etis yang mengharuskan pemerintah untuk menyejahterakan masyarakat jajahan di Hindia Belanda. Gagasan emansipasi dan cita-cita Kartini untuk maju dengan pendidikan mulai jadi perhatian pemerintah Hindia Belanda.
Pada 8 Agustus, Direktur Departemen Pendidikan, Kerajinan, dan Agama J.H. Abendanon mengunjungi Jepara. Ia menyampaikan, ada rencana pendirian sekolah asrama atau kostchool untuk gadis bangsawan. Kartini mendukung rencana ini dengan harapan perempuan menyadari hak mereka selama ini terampas.
Abendanon terkesan dengan penjelasan Kartini yang menyarankan pembukaan pendidikan kejuruan agar perempuan terampil dan mandiri, tidak bergantung kepada laki-laki. Tetapi, sebagian besar bupati menolak surat edaran Abendanon tentang kostschool dengan alasan aturan adat bangsawan tidak mengizinkan anak perempuan dididik di luar.
Kelak saat diundang ke Batavia oleh Abendanon, Kartini ditawari Direktur HBS Batavia Nona Van Loon untuk melanjutkan studi di sekolahnya. Saat itu, ayah Kartini juga mengizinkannya untuk melanjutkan studi menjadi guru.
Kendati pendirian kotschol terhambat, keinginan Kartini atas pendidikan demi menyamakan derajat laki-laki dan perempuan sampai di telinga anggota parlemen Belanda, Van Kol. Ia lalu menawari Kartini untuk sekolah di Belanda bersama adiknya Roekmini dengan biaya pemerintah.
Tetapi atas bujukan dan tekanan orang bumiputra dan keluarga Abendanon, ia urung ke Belanda.
Perjuangan R.A. Kartini untuk Perempuan dan Pendidikan
Kartini dikenal dengan surat-suratnya dengan sejumlah orang di Belanda. Sejumlah surat di antaranya mengungkapkan bagaimana Kartini ingin memperluas pengetahuannya tentang berbagai pemikiran. Salah satu suratnya diterjemahkan Armijn Pane dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang:
"Kami, gadis-gadis masih terantai kepada adat istiadat lama, hanya sedikitlah memperoleh bahagia dari kemajian pengajaran itu. Kami anak perempuan pergi belajar ke sekolah, keluar rumah tiap-tiap hari, demikian itu saja sudah dikatakan amat melanggar adat." (Surat kepada Nona Zeehandelaar, Jepara, 25 Mei 1899)
"Saya tiada tahu berbahasa Prancis, Inggris, dan Jerman, sayang! --Adat sekali-kali tiada mengizinkan kami anak gadis tahu berbahasa asing banyak-banyak--kami tahu berbahasa Belanda saja, sudah melampaui garis namanya. Dengan seluruh jiwa saya, saya ingin pandai berbahasa yang lain-lain itu, bukan karena ingin akan pandai bercakap-cakap dalam bahasa itu, melainkan supaya dapat membaca buah pikiran penulis-penulis bangsa asing itu." (Surat kepada Nona Zeehandelaar, Jepara, 25 Mei 1899)
Surat-surat Kartini kelak diterjemahkan dalam berbagai bahasa untuk pembaca di Eropa, Asia, hingga Amerika lewat buku kumpulan surat Kartini oleh J.H. Abendanon, Door Duisternis tot Licht.
Gagasan Kartini untuk membangkitkan pengetahuan dan pendidikan perempuan juga ia terapkan sehari-hari. Ia mempelajari dan memahami pemikiran emansipasi yang berkembang di negara-negara lain. Berangkat dari pengetahuannya, ia kelak bercita-cita mendirikan sekolah bagi perempuan dan menjadi guru.